Helping Professional
Oleh: M. Fahli zatra hadi, M.Pd
Profesi konseling itu sendiri memerlukan seseorang yang memiliki keinginan kuat untuk menolong orang lain dan sifat positif terhadap klien sebagai manusia yang mempunyai nilai-nilai. Ia haruslah orang yang mempunyai rasa tanggung jawab yang besar, kesanggupan mengontrol diri, keseimbangan emosi, nilai-nilai yang teratur tanpa kekakuan, kesadaran bahwa mungkin nilai-nilainya berbeda dengan nilai-nilai orang lain, oleh sebab itu adalah hak untuk setiap orang memegang nilai-nilainya sendiri, pengertian mendalam akan masalah-masalah dan hakikat motivasinya, kesungguhan dan kemampuan menahan berbagai tekanan, kemampuan melakukan terapi yang sesuai, termasuk kemampuan mengadakan hubungan profesional dengan klien. Juga latar belakang pendidikan yang luas, perhatian sungguh-sungguh terhadap psikologi, terutama cabang-cabang yang menyentuh aspek terapi.
Juga konselor perlu mengkaji dengan mendalam berbagai cabang psikologi seperti psikologi perbedaan-perseorangan, psikologi perkembangan, pendidikan, kepribadian, psikologi motivasi, dan psikologi sosial, perlu juga ia mengkaji budaya di mana ia berada dari segi unsur-unsur, masalah-masalah dan faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan seseorang dalam budaya tersebut.
Di samping itu ia juga perlu mengkaji tentang konseling sebagai suatu cabang psikologi, teori-teorinya, dan metode-metodenya, dan yang paling penting lagi ia mengamalkan konseling di bawah bimbingan ahli-ahli konseling yang berpengalaman. Inilah sebagian keperluan akademik dan profesional yang diperlukan oleh seseorang yang ingin bekerja menjadi seorang konselor.
Amat banyak hubungan antar manusia yang mengandung unsur-unsur pemberian bantuan. Ini memang diperlukan karena berbagai kondisi dilematis, konflik ataupun krisis yang dialami individu dan perlu bantuan segera. Akan tetapi, atas sifat dan ciri-cirinya, tidak semua pemberian bantuan dapat disebut profesional. Sebagiannya memang profesional, sebagiannya dapat disebut para profesional, dan sebagian lainnya lagi disebut nonprofesional.
Para konselor atau para calon konselor agaknya cukup senang dengan ungkapan Lawrence M. Brammer tentang kemungkinan mereka mampu memerankan profesi helping. Brammer mengungkapkan bahwa banyak orang yang mempunyai daya-mampu alamiah, natural, untuk membantu dengan baik karena pengalaman hidupnya yang menguntungkan. Mereka memiliki daya-mampu intelektual untuk memahami dan memperhatikan ciri-ciri helping secara alamiah sehingga lebih dapat menolong orang lain dengan baik. Di dalam helping profesional pribadi konselor merupakan ”instrumen” menentukan bagi adanya hasil-hasil positif konseling. Kondisi ini akan di dukung oleh keterampilan konselor mewujudkan sikap dasar dalam berkomunikasi dengan klien. Dapat dijelaskan sebagai berikut
Untuk dapat melaksanakan peranan profesional yang unik sebagaimana tuntutan profesi di atas, konselor profesional harus memiliki pribadi yang berbeda dengan pribadi-pribadi yang bertugas membantu lainnya. Konselor dituntut memiliki pribadi yang lebih mampu menunjang keefektifan konseling. Jadi keberhasilan dalam konseling lebih bergantung pada kualitas pribadi konselor dibandingkan kecermatan teknik. Mengenai ini Leona E. Tyler menyatakan ”pribadi konselor yang amat penting mendukung efektifitas peranannya adalah pribadi yang altruistis, rela berkorban untuk kepentingan orang lain yaitu kepentingan konseli. Dan dijelaskan oleh John J. Pietrofesa, dkk, bahwa para helper mendayagunakan diri mereka sendiri dan mementingkan kemanusiaan dalam pekerjaannya.
Selain itu seorang konselor sebagai fasilitative person perlu memiliki keterampilan-keterampilan lewat latihan dan didikan karena keterampilan kekonseloran akan meningkatkan kualitas pribadi mereka pada taraf yang lebih tinggi, akan tetapi, jelas bahwa pribadi para konselor merupakan alat yang sangat penting sekali dalam hubungan helping.
Adapun pokok-pokok kekhasan pribadi para helper pada umumnya berdasarkan sifat hubungan helping, menurut Brammer, adalah:
1. Awareness of Self and Values (Kesadaran Akan Diri dan Nilai-nilai)
Para helper memerlukan suatu kesadaran tentang posisi-posisi nilai mereka sendiri. Mereka harus mampu menjawab dengan jelas pertanyaan-pertanyaan, siapakah saya? Apakah yang penting bagi saya? Apakah signifikansi sosial dari apa yang saya lakukan? Mengapa saya mau menjadi seorang helper? Kesadaran ini membantu para helper membentuk kejujuran terhadap dirinya sendiri dan terhadap helpi mereka dan juga membantu para helper menghindari memperalat secara tak bertanggung jawab atau tak etis terhadap para helpi bagi kepentingan pemuasan kebutuhan diri-pribadi para helper sendiri.
2. Awareness of Cultural Experience (Kesadaran Akan Pengalaman Budaya)
Helper dituntut mengetahui lebih banyak lagi tentang budaya para helpi. Mengetahui lebih banyak perbedaan antara para helper dan para helpi merupakan hal sangat vital bagi keefektifan hubungan helping. Kelompok orang-orang tertentu seperti para tahanan, pemabuk, kanak-kanak, orang jompo, janda/duda, penyandang cacat-fisik atau mental, siswa-siswa miskin, pria atau wanita, dan semacamnya, sangat mungkin memiliki pengalaman hidup yang sangat berlainan dengan para helper mereka. Para helper profesinal hendaknya mempelajari ciri-khas budaya dan kebiasaan tiap kelompok helpi mereka.
3. Ability to Analyze the Helper’s Own Feeling (Kemampuan Menganalisis Kemampuan Helper Sendiri)
Para helper harus mampu ”menyelami” perasaan-perasaan mereka sendiri, memahami dan menerima perasaan-perasaan mereka. Tidak menggantungkan harapan-harapan sukses terlalu tinggi dan berdiskusi sesama kolega dapat membantu meredakan perasaan-perasan negatif.
4. Ability to Serve as Model and Influencer (Kemampuan Berlayan Sebagai ”Teladan” dan ”Pemimipin” atau Orang ”Berpengaruh”)
Kemampuan para helper sebagai ”pemimpin” atau orang ”berpengaruh”, dan sebagai ”teladan” diperlukan pula dalam proses helping. Meskipun ini tidak berarti bahwa para helper harus menguasai para helpi mereka, para helper harus dapat menunjukkan kemampuan melihat inti masalah dengan tajam dan cepat dan mempunyai rasa percaya diri yang mapan.
5. Altruism
Pribadi yang altruistis ditandai kesediaan berkorban (waktu, tenaga, dan mungkin materi) untuk kepentingan kebahagiaan atau kesenangan orang lain. Dengan kata lain kepuasan para helper diperoleh melalui pemberian peluang memuaskan orang-orang lain.
6. Strong Sense of Ethics (Penghayatan Etik yang Kuat)
Kelompok helper profesional, seperti konselor, memiliki kode etik untuk dipahami dan dipakai serta dapat menimbulkan kepercayaan masyarakat terhadap mereka.
7. Responsibility (Tanggung Jawab)
Para helper yang bertanggung jawab menyadari keterbatasan-keterbatasan mereka, sehingga tidak mencanangkan hasil-hasil (tujuan) yang tidak realistis. Mereka akan mengupayakan referal kepada spesialis ketika mereka menyadari keterbatasan diri mereka dan tetap kontak dengan para helpi mereka sampai spesilalis lain itu mengambil tanggung jawab dalam suatu hubungan baru dengan klien. Begitu pula, ketika secara pasti para helper kompeten menangani kasus, mereka tidak membiarkan kasus-kasus para helpi terkatung-katung tanpa penyelesaian.(konseling kejiwaan)